Rasanya hanya kesedihan yang terus menempa perjalanan menjadi kita. Seolah aku benar-benar kesulitan mengahadapi tamu-tamu yang tiada habis singgah di rumah kita.
Aku berhadapan dengan diriku sendiri. Setiap kali ujian itu datang menyapa. Entah berapa kali aku ingin berlari. Tetapi dihadapan Tuhan, kita adalah satu. Entah berapa kali aku ingin menyerah. Karena ego. Karena terperangkap kesedihan yang menahun. Karena pikirku, kamu tak jua mengerti apa itu perasaan orang lain, orang terdekatmu. Aku juga tidak mau mengerti kenapa kamu sekeras ini. Tetapi jauh di lubuk hati, kamu lembut sekali.
Mungkin, hanya aku yang kerap dipenuhi curiga, dipenuhi pikiran yang bukan-bukan. Cemas akan masa depan. Terus bertanya mengapa aku selalu kedatangan tamu yang menguras perasaan.
Tidak mudah, aku kira menghabiskan hidup dengan orang yang gagal terus menerus memahami bagaimana halusnya perasaanku. Kamu kerap berkata “diam jangan menangis” alih-alih memelukku. Kamu berhutang kata maaf.
Padahal aku kira denganmu aku tenggelam dalam penuh kasih sayang. Tetapi jalan pikiranmu barat dan aku timur. Kita kerap sulit menemukan titik temu. Aku tidak tahu, kenapa perbedaan besar kita berdua terus menetap dan melaju.
Barangkali karena cinta. Cinta yang terus kita rajut meski kadang tumbuh tidak sempurna. Tak apa, masih ada hari dimana kita bisa saling terus merawat, saling merendahkan hati untuk saling mencintai.
Kata orang, cinta tak perlu mengharap balasan. Tapi aku pikir setiap manusia butuh dibalas. Bahkan orang tua pun tetap mengharap balasan sekecil apapun itu. Hanya cinta kepada Gusti yang Agung kepada hambanya , yang murni. Barangkali seperti itu. Bukan antara Adam dan hawa. Mereka tumbuh untuk saling berkasih sayang. Berbalas. Tidak sepihak.
Jangan sampai, terlena karena telah bersepakat dengan Gusti. Lalu lupa dan lalai merawat aku yang gampang patah. Kalau kamu tak mau jadi tempat tangisku. Lalu siapa manusia itu? Siapa manusia yang paling layak selain kamu?