Semisal, empat tahun

Rasanya hanya kesedihan yang terus menempa perjalanan menjadi kita. Seolah aku benar-benar kesulitan mengahadapi tamu-tamu yang tiada habis singgah di rumah kita.

 

Aku berhadapan dengan diriku sendiri. Setiap kali ujian itu datang menyapa. Entah berapa kali aku ingin berlari. Tetapi dihadapan Tuhan, kita adalah satu. Entah berapa kali aku ingin menyerah. Karena ego. Karena terperangkap kesedihan yang menahun. Karena pikirku, kamu tak jua mengerti apa itu perasaan orang lain, orang terdekatmu. Aku juga tidak mau mengerti kenapa kamu sekeras ini. Tetapi jauh di lubuk hati, kamu lembut sekali.

 

Mungkin, hanya aku yang kerap dipenuhi curiga, dipenuhi pikiran yang bukan-bukan. Cemas akan masa depan. Terus bertanya mengapa aku selalu kedatangan tamu yang menguras perasaan.

Tidak mudah, aku kira menghabiskan hidup dengan orang yang gagal terus menerus memahami bagaimana halusnya perasaanku. Kamu kerap berkata “diam jangan menangis” alih-alih memelukku. Kamu berhutang kata maaf.

Padahal aku kira denganmu aku tenggelam dalam penuh kasih sayang. Tetapi jalan pikiranmu barat dan aku timur. Kita kerap sulit menemukan titik temu. Aku tidak tahu, kenapa perbedaan besar kita berdua terus menetap dan melaju.

Barangkali karena cinta. Cinta yang terus kita rajut meski kadang tumbuh tidak sempurna. Tak apa, masih ada hari dimana kita bisa saling terus merawat, saling merendahkan hati untuk saling mencintai.

 

Kata orang, cinta tak perlu mengharap balasan. Tapi aku pikir setiap manusia butuh dibalas. Bahkan orang tua pun tetap mengharap balasan sekecil apapun itu. Hanya cinta kepada Gusti yang Agung kepada hambanya , yang murni. Barangkali seperti itu. Bukan antara Adam dan hawa. Mereka tumbuh untuk saling berkasih sayang. Berbalas. Tidak sepihak.

 

Jangan sampai, terlena karena telah bersepakat dengan Gusti. Lalu lupa dan lalai merawat aku yang gampang patah. Kalau kamu tak mau jadi tempat tangisku. Lalu siapa manusia itu? Siapa manusia yang paling layak selain kamu?

 

 

Jadi, untuk apa Marah?

Saya pernah marah dengan seseorang yang seharusnya dekat sekali dengan saya. Selama bertahun-tahun lamanya. Saya menyimpan perasaan marah itu. Sendirian. Setiap malam fase remaja, saya habiskan untuk mengotori pikiran dan batin saya untuk menyalahkan apa yang telah dia lakukan terhadap saya. Saya marah dan dia berhutang kata maaf. Maaf atas semua yang telah terjadi.

 

Lalu, saat duduk di bangku SMA saya sadar bahwa apa yang telah saya lakukan adalah tidak baik untuk kehidupan dan kesehatan saya. Saya akhirnya, berkenalan seni menerima. Saya sungguh telah memaafkan dia.

 

Dia tak lagi berhutang kata maaf. Saya seperti terlahir kembali, saya menjadi pribadi yang baru. Karena marah yang saya produksi sendiri itu telah pergi. . . .

 

Sejak saat itu…. Saya berusaha untuk tidak lagi menjadi manusia pemarah yang tidak pada tempatnya. Apalagi jika perasaan marah itu hanya membawa dampak buruk untuk kehidupan saya. Dan di tahun 2019 ini saya akan berusaha mengikuti ritme agar setenang itu . . . 🙂

Memulai kembali.

Sudah lama, aku tak melakukan monolog denganmu. Apa kau, secara tegas merindukanku ? Atau menganggapnya lumrah, aku seperti manusia kebanyakan yang pada satu titik jenuh lalu meninggalkan ?

Kau tahu, sayang. Aku tak pernah benar-benar meninggalkanmu. Aku hanya berada pada satu titik, dimana seluruh kepalaku dipenuhi cerita dan batinku sesak. Aku pensiun dini menjadi agen neptunus. Lalu, memutari candi juga seribu makam. Aku tak sanggup menulis segala yang memblender kepalaku dalam waktu yang kupikir singkat itu.

Tetapi, sayang. Sungguh, demi masa aku akan memulai kembali.

 

Disini, diblog ini bersamamu dan untukmu. . .

Haruskah hidup dengan ISME ?

Haruskah hidup dengan Isme ?

Saya tidak sedang menulis sebuah agenda meditasi, apalagi membayangkan seseorang bernafas tanpa pikiran yang memenuhi kepalanya, rasannya sulit. Tapi bisakah ?

Saya sering merenung belakangan ini, bagaimana jika seseorang benar-benar tidak pernah membaca buku dalam hidupnya ? tidak pernah mengenal pemikiran orang lain ? sekalipun tahu, tapi benar-benar tidak mengenal. Pikiran saya  langsung mengarah kepada, Ibu saya.

Ibu saya orang  kuno, dia hanya menjalani hidup dengan baik, istilahnya “jalani saja” sementara saya sebagai anak, berkali-kali berkecamuk karena terus menerus bertanya “benarkah saya harus menjalani hidup ini dengan jalani saja ?” Bertahun-tahun lamanya, saya racuni kepala saya dengan pemikiran yang orang diluar sana bilang, hebat dan dapat menyelamatkan hidup saya yang sekarat ini. Tapi kenyataannya pada suatu titik, segala isme yang telah meracuni saya tidak membantu. Justru membuat saya banjir air mata…

Saat saya berkali-kali dihadapkan pada situasi tidak enak, isme bilang saya harus memaafkan dan penuh kasih sayang. Padahal batin saya saat itu marah bukan main, isme yang lain bilang, tidak apa-apa marah, yeah itu normal. Isme-isme yang kita yakini itu, kita praktekan dalam hidup, atau hanya sekedar menjadi guyonan lalu lintas.

Terbit banyak buku, mengenai bagaimana menjadi ideal, tapi saat kita melakoni apa yang dituliskan buku.Tidak sesuai kenyataan,mereka bercanda berlebihan. . . .

Haruskah kita hidup dengan isme ?

Begini saja Tuhan…

Begini saja Tuhan, langsung saja…

Aku bisa saja mati, nyaris mati berkali-kali. Tiada yang tahu kematian apa yang akan aku warisi. Tiada yang tahu, kapan kematian seseorang berlangsung. Toh, banyak yang telah dikubur dan ditangisi secara menyayat. Keesokannya bangkit dari kubur.

Tuhan, kalau nyatanya kematian adalah hal yang paling ditakuti manusia, mahklukmu yang pembangkang dan gemar menyalahi iblis. Lantas, kenapa kami tak kunjung berusaha keras menujumu ?

Kau Tunggal.

Namun sekaligus membelah menjadi yang lain.

Belakangan ini, kami… #1

Saya menimbang-nimbang, apakah benar langkah saya ?

apakah ini hanya semata-mata keinginan sementara saja ? apa benar yang memilih ini adalah saya ?

 

Pada suatu sore, dalam hidup saya yang semakin asing. Laut yang abu, begitu sendu dipandang, saya dan kesatria duduk bersebelahan. Dengan pikiran yang saling melayang, saya tak ingat kapan. Waktu seperti melesat begitu dasyat. Saya bilang. saya akan hidup bersamanya. Dia setuju, kami lantas melempar pandangan ke laut yang abu.

 

Di motor, perasaan saya seperti terbang melayang. Memikirkan segala kemungkinan yang harus kami hadapi. Kesatria masih saja diam, saya tahu detak jantungnya juga jadi resah. Kepalanya pening. Selintas, lampu-lampu merkuri membiaskan cahaya yang ajaib

Dalam remang-remang.

Setiap orang memiliki masa tertentu dalam hidupnya. Kadang saya merasa saya begitu tercerahkan oleh sesuatu hal, sampai-sampai segala apa yang saya hadapi dan apa yang saya alami, menjadi begitu stabil–tidak mengusik pikiran dan batin.
Sejak dahulu saya bingung dan dibuat sungguh tidak habis pikir, dengan permainan dunia. Tuhan (telah) berhasil menipu saya dengan segala kenikmatan yang tersaji. Tuhan barangkali tertawa, atau kasihan ? setiap kali saya jatuh kedalam lubang yang sama. Kebohongan yang  sama, lagi dan lagi, saya jatuh.
Tuhan menipu saya.
Saya suka ditipu, tertipu.

Lingkaran orang-orang tak mumpuni.

Apa perasaan kamu, jika kamu ingin sekali belajar tentang sesuatu hal, masuk ke sebuah organisasi yang kamu pikir bisa membantu kamu. Tapi kenyataanya, sial. Kamu berada pada fase dimana orang-orang tak mumpuni melingkar. Kamu bingung, hendak melarikan diri dan mencari tenpat lain tapi kamu merasa tidak bisa membiarkan tempat yang kamu sayang menjadi kacau ?

 

Dilematis memang.